- Back to Home »
- Ilmu Pengetahuan »
- Biografi Ki Hajar Dewantara Bapak Pendidikan Indonesia
Terlahir
dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan
keluarga kraton Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun
menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara.
Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan
namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik
secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi
kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar
Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi
tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De
Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada
masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif,
tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi
pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun
1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan
menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya
persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang
beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan
mencapai Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum
pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui
Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan
menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah
karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan
menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia
pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus
sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa
Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda
yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan
Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta
perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul
Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen
maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga).
Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres
milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan
pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas
kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi
juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana
perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan
sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin
itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan
sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut
mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya
sedikitpun".
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral
Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman
internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat
tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang
ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan
diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela
Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk
memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga
terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto
Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa
memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan
ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran,
sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan
perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih
kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun
mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs
Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922.
Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik
agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh
kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah
kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah
Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya,
sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di
Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari
nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya
berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan
dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan
pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga
Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan
di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah zaman kemedekaan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang
pertama
Ki Hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Lihat Daftar Menteri
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar
Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan Lihat Daftar Pahlawan
Nasional
pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei
dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Lihat Daftar
Pahlawan Nasional
pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Lihat Daftar Presiden
Republik Indonesia
Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang
diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun
1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia
pada tanggal 28 April 1959 di Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978)
Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara
Kirti Griya, Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978)
Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar
Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar
sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi
museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta
data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik,
budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan
dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu
memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku,
budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta
harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.